Sabtu, 23 Juni 2012

Sejarah Perpajakan di Indonesia

Pada mulanya pajak merupakan suatu upeti (pemberian secara cuma-cuma) namun sifatnya merupakan suatu kewajiban yang dapat dipaksakan yang harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat) kepada seorang raja atau penguasa. Saat itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa berbentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanaman lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan atau kepentingan raja atau penguasa setempat dan tidak ada imbalan atau prestasi yang dikembalikan kepada rakyat karena memang sifatnya hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena kedudukan raja yang lebih tinggi status sosialnya dibandingkan rakyat.
Dalam perkembangannya, sifat upeti yang diberikan oleh rakyat tidak lagi hanya untuk kepentingan raja saja, tetapi sudah mengarah kepada kepentingan rakyat itu sendiri.  Artinya pemberian kepada rakyat atau penguasa digunakan untuk kepentingan umum seperti untuk menjaga keamanan rakyat, memelihara jalan, pembangun saluran air, membangun sarana sosial lainnya, serta kepentingan umum lainnya.
Perkembangan dalam masyarakat mengubah sifat upeti (pemberian) yang semula dilakukan cuma-cuma dan sifatnya memaksa tersebut, yang kemudian dibuat suatu  aturan-aturan yang lebih baik agar sifatnya yang memaksa tetap ada, namun unsur keadilan lebih diperhatikan. Untuk memenuhi unsur keadilan inilah maka rakyat diikutsertakan dalam membuat aturan-aturan dalam pemungutan pajak, yang nantinya akan dikembalikan juga hasilnya untuk kepentingan rakyat sendiri.
Di Indonesia, sejak zaman kolonial Belanda ternyata telah diberlakukan cukup banyak undang-undang yang mengatur mengenai pembayaran pajak, yaitu sebagai berikut:
  1. Ordonansi Pajak Rumah Tangga;
    1. Aturan Bea Meterai;
    2. Ordonansi Bea Balik Nama;
    3. Ordonansi Pajak Kekayaan;
    4. Ordonansi Pajak Kendaraan Bermotor;
    5. Ordonansi Pajak Upah;
    6. Ordonansi Pajak Potong;
    7. Ordonansi Pajak Pendapatan;
    8. Undang-undang Pajak Radio;
    9. Undang-undang Pajak Pembangunan I;
    10. Undang-undang Pajak Peredaran.
Kemudian diundangkan lagi beberapa undang-undang, antara lain:
  1. UU Pajak Penjualan Tahun 1951 yang diubah dengan UU No. 2 Tahun 1968;
    1. UU No. 21 Tahun 1959 tentang Pajak Dividen yang diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1967 tentang Pajak atas Bunga, Dividen, dan Royalti;
    2. UU No. 19 Tahun 1959 tentang Penagihan Pajak Negara dengan Surat Paksa;
    3. UU No. 74 Tahun 1958 tentang Pajak Bangsa Asing;
    4. UU No. 8 Tahun 1967 tentang Tata Cara Pemungutan PPd, PKK, dan PPs     atau Tata Cara MPS-MPO.
Terlalu banyaknya undang-undang yang dikeluarkan mengakibatkan masyrakat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Selain itu, beberapa undang-undang di atas ternyata dalam perkembangannya tidak memenuhi rasa keadilan, dan masih memuat unsur-unsur kolonial. Maka pada tahun 1983, Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat sepakat melakukan reformasi undang-undang perpajakan yang ada dengan mencabut semua undang-undang yang ada dan mengundangkan 5 (lima) paket undang-undang perpajakan yang sifatnya lebih mudah dipelajari dan dipraktikkan serta tidak menimbulkan duplikasi dalam hal pemungutan pajak dan unsur keadilan menjadi lebih diutamakan, bahkan sistem perpajakan yang semula official assessment diubah menjadi self assessment. Kelima undang-undang tersebut adalah:
  1. UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP);
  2. UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (PPh);
  3. UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM;
  4. UU No. 12 Tahun1985 tentang PBB (masih menggunakan official assessment);
  5. UU No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai (BM).
Pada tahun 1994, empat dari kelima undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dengan mengubah beberapa pasal yang dipandang perlu dengan undang-undang, yaitu:
  1. UU No.6 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 9 Tahun 1994;
  2. UU No. 7 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 10 Tahun 1994;
  3. UU No. 8 Tahun 1983 diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994;
  4. UU No. 12 Tahun 1985 diubah dengan UU No. 12 Tahun 1994;
Kemudian pada tahun 1997 pemerintah membuat beberapa undang-undang yang berkaitan dengan masalah perpajakan untuk mendukung undang-undang yang sudah ada, yaitu:
  1. UU No. 17 Tahun 1997 tentang Badan Penyelesaian dan Sengketa Pajak;
    1. UU No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
    2. UU No. 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
    3. UU No. 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak;
    4. UU No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Adanya perkembangan ekonomi dan masyarakat yang terus menerus dan untuk memberikan rasa keadilan dan pelayanan kepada Wajib Pajak, maka pada tahun 2000 pemerintah kembali mengubah undang-undang perpajakan, yaitu:
  1. UU No. 16 Tahun 2000 tentang KUP;
  2. UU No. 17 Tahun 2000 tentang PPh;
  3. UU No. 18 Tahun 2000 tentang PPN dan PPnBM;
  4. UU No. 19 Tahun 2000 tentang PPSP;
  5. UU No. 21 Tahun 2000 tentang BPHTB;
  6. UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD; serta
  7. Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai.
Kemudian pada tahun 2002, dengan menimbang bahwa Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung maka dibentuklah suatu Pengadilan Pajak dengan UU No. 14 Tahun 2002 sebagai pengganti UU No. 17 Tahun 1997.
Perubahan terakhir undang-undang perpajakan baru-baru ini dilakukan pada tahun 2007 dan 2008 yang menghasilkan UU KUP No. 28 Tahun 2007 yang berlaku mulai tahun 2008 dan UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tahun 2009. Namun, dilatarbelakangi adanya sunset policy beberapa waktu lalu, maka UU KUP diperbaharui lagi dengan adanya UU No. 16 Tahun 2009 sebagai penetapan Perpu No. 5 Tahun 2008 yang hanya mengubah satu bunyi ketentuan Pasal 37A ayat (1) UU KUP No. 28 Tahun 2007.UU PPN/PPNBM  No. 42 tahun 2009 yg berlaku I April 2010

Kamis, 21 Juni 2012

Canda

Bercanda Ada Batasnya

Penulis: Ummu ‘Aisyah
Saudariku muslimah, berbeda dengan sabar yang tidak ada batasnya, maka bercanda ada batasnya. Tidak bisa dipungkiri, di saat-saat tertentu kita memang membutuhkan suasana rileks dan santai untuk mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu badan kembali segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali, sehingga produktifitas semakin meningkat. Hal ini tidak dilarang selama tidak berlebihan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun Bercanda
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak istri dan para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau untuk mengambil hati serta membuat mereka gembira. Namun canda beliau tidak berlebihan, tetap ada batasnya. Bila tertawa, beliau tidak melampaui batas tetapi hanya tersenyum. Begitu pula dalam bercanda, beliau tidak berkata kecuali yang benar. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam beberapa hadits yang menceritakan seputar bercandanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah melihat Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-bahak hingga kelihatan amandelnya, namun beliau hanya tersenyum.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun menceritakan, para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau gurau bersama kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku selalu berkata benar.” (HR. Imam Ahmad. Sanadnya Shahih)
Adapun contoh bercandanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bercanda dengan salah satu dari kedua cucunya yaitu Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah, no hadits 70)
Adab Bercanda Sesuai Syariat
Poin di atas cukup mewakili arti bercanda yang dibolehkan dalam syariat. Selain itu, hal penting yang harus kita perhatikan dalam bercanda adalah:
1. Meluruskan tujuan yaitu bercanda untuk menghilangkan kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa memperoleh semangat baru dalam melakukan hal-hal yang bermanfaat.
2. Jangan melewati batas. Sebagian orang sering berlebihan dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Terlalu banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.
3. Jangan bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda. Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.
4. Jangan bercanda dalam perkara-perkara yang serius. Seperti dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim (pengadilan-ed), ketika memberikan persaksian dan lain sebagainya.
5. Hindari perkara yang dilarang Allah Azza Wa Jalla saat bercanda.
- Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda. Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: “Tidak halal bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim yang lain.” (HR. Abu Dawud)
- Berdusta saat bercanda. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin dengan sebuah istana di bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seseorang yang memperbaiki akhlaknya.” (HR. Abu Dawud). Rasullullah pun telah memberi ancaman terhadap orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Imam Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)
- Melecehkan sekelompok orang tertentu. Misalnya bercanda dengan melecehkan penduduk daerah tertentu, atau profesi tertentu, bahasa tertentu dan lain sebagainya, yang perbuatan ini sangat dilarang.
- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain. Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu mencela, memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan yang keji untuk membuat orang lain tertawa.
6. Hindari bercanda dengan aksi atau kata-kata yang buruk. Allah telah berfirman, yang artinya, “Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya setan adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (QS. Al-Isra’: 53)
7. Tidak banyak tertawa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, “Janganlah kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah)
8. Bercanda dengan orang-orang yang membutuhkannya.
9. Jangan melecehkan syiar-syiar agama dalam bercanda. Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat Al-Qur’an dan syair-syiarnya, wal iyadzubillah! Sungguh perbuatan itu bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan kekufuran.
Demikianlah mengenai batasan-batasan dalam bercanda yang diperbolehkan dalam syariat. Semoga setiap kata, perbuatan, tingkah laku dan akhlak kita mendapatkan ridlo dari Allah, pun dalam masalah bercanda. Kita senantiasa memohon taufik dari Allah agar termasuk ke dalam golongan orang-orang yang wajahnya tidak dipalingkan saat di kubur nanti karena mengikuti sunnah Nabi-Nya. Wallahul musta’an.
***
Diringkas dari: majalah As-Sunnah edisi 09/tahun XI/ 1428 H/2007 M.
Artikel www.muslimah.or.id

PERSAHABATAN
                                              Bukan 
                                             berjalan
                                            seperti 
                                          gunting

                                Meskipun lurus
                                    ....... tapi ......
                               ..... memisahkan
                              yang menyatu

 tapi sahabat
    .....itu
       Berjalan
         Seperti jarum
             .... meski ...........
                menusk dan menyakiti
                   .....tapi ..........................
                     menyatukan
                        .............yang terpisah

Terkadang
      diriku suka
           salah kata
               ........tapi...
                 Hatiku ..........
                    .......... tak pernah
                        ada niat melukai


                                                  Sahabat .......
                                         Bukan untuk jadi
                                   teman yang hanya ......
                             bersenang-senang ................

            tapi  saling .........
                     mengingatkan
                  jujur juga peduli
         tak ada iri hati

                                           ...selalu ........
                                          bersama-sama
                                          berbagi suka dan duka

                                           serta belajar
                                           saling mengerti
                                           memaafkan

                                                                  satu ditimur
                                                                  satu dibarat
                                                                  teman-teman
                                                                  tetap ku ingat

               bulan boleh bulat
             besi boleh berkarat
           gunung boleh meletus

         ... tapi ................
      persahabatan
        jangan sampai putus

...                                   Semoga hari ini lebih baik dari .....
                                                  kemarin .........

                                  Selamat pagi slamat beraktifitas

- - -># TETAP DALAM GARIS PERJUANGAN  - - - - >>>>

Selasa, 19 Juni 2012

TIGA HAL

T I G A   H A L

Ada 3 Hal yang dapat menghancurkan seseorang yaitu :
      1.   Kemarahan
      2.   Keangkuhan
      6.   Dendam

Ada 3 Hal yang tidak boleh hilang yaitu :
      1.   Harapan
      2.   Keikhlasan
      3.   Kejujuran

Ada 3 Hal yang paling berharga yaitu :
      1.   Kasih sayang
      2.   Cinta
      3.   Kebaikan

Ada 3 Hal dalam hidup yang tidak pasti yaitu :
      1.   Kekayaan
      2.   Kesuksesan
      3.   Mimpi

Ada 3 Hal yang membentu watak seseorang yaitu :
      1.   Komitmen
      2.   Ketulusan
      3.   Kerja keras

Ada 3 Hal yang membuat kita sukses yaitu :
      1.   Tekad
      2.   Kemaun
      3.   Fokus

Ada 3 Hal yang tidak pernah kita tahu yaitu :
      1.   Rezeki
      2.   Umur
      3.   Jodoh

Tetapi ada 3 Hal dalam hidup yang PASTI yaitu :
      1.   Tua
      2.   Sakit
      3.   Kematian

Ya Allah,  sahabat saya yang baik, kuat, sabar, sayangilah dia serta kasihilah dia, tolong bantu mudahkan rezekinya, sehatkan badannya. Jika dia melangkah sehatkanlah dia, mudahkanlah langkahnya ..............

Sabtu, 16 Juni 2012

Mencegah Perselisihan

Upaya Strategi Mencegah Perselisihan anatara buruh dan pengusaha :
1.  Melaksanakan hak normatif buruh
2.  Perhatikan kesejahteraan buruh
3.  Menjalin komunikasi yang efektif
4. Menyediakan fasilitas buruh
5.  Tidak menghalangi buruh berserikat

Rabu, 13 Juni 2012

Cara Islam Mengatasi Masalah Perburuhan


Cara Islam Mengatasi Masalah Perburuhan

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Problem perburuhan ini sebenarnya terjadi dipicu oleh kesalahan tolok ukur yang digunakan untuk menentukan gaji buruh, yaitu living cost terendah. Living cost inilah yang digunakan untuk menentukan kelayakan gaji buruh. Dengan kata lain, para buruh tidak mendapatkan gaji mereka yang sesungguhnya, karena mereka hanya mendapatkan sesuatu sekadar untuk mempertahankan hidup mereka.


Konsekuensinya kemudian adalah terjadilah eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh. Dampak dari eksploitasi inilah yang kemudian memicu lahirnya gagasan sosialisme tentang perlunya pembatasan waktu kerja, upah buruh, jaminan sosial, dan sebagainya.

Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.

Jadi, masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong.

Islam Mengharamkan Kebebasan Kepemilikan 

Konsep kebebasan kepemilikan (hurriyah milkiyyah) tidak ada dalam Islam. Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Solusinya, Islam mengajarkan konsep Ibahatu al-Milkiyyah, bukan Hurriyah Milkiyyah. 

Dua konsep ini jelas berbeda. Jika konsep Hurriyah Milkiyyah ini membebaskan manusia untuk bisa memiliki apapun dengan sebab kepemilikan apapun, tanpa melihat halal dan haram, maka konsep Ibahatu al-Milkiyyah jelas tidak. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan status kepemilikan seseorang, apakah boleh atau tidak. Sebab, kepemilikan adalah bagian dari aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Setiap Muslim bisa saja memiliki, tetapi caranya harus terikat dengan cara yang ditentukan oleh syariah. Seperti berburu, menjadi broker, bekerja dan sebab kepemilikan lain yang dibolehkan oleh syariah.

Setelah harta berhasil dimiliki, Islam pun menentapkan cara tertentu yang bisa digunakan untuk mengembangkan harta tersebut, seperti jual beli, sewa menyewa, dan sebagainya. Karena itu, dalam pandangan Islam, tidak ada kebebasan bagi seseorang untuk memiliki apa saja, dengan cara apapun. Sebaliknya, setiap orang harus terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Islam untuknya. Jika apa yang hendak dia miliki diizinkan oleh Islam, dan diperoleh dengan cara yang juga dibenarkan oleh Islam, maka berarti itu menjadi izin baginya. Inilah konsep Ibahatu al-Milkiyyah.

Dengan demikian, konsep Ibahatu al-Milkiyyah ini jelas berbeda secara diametral dengan konsep Hurriyah Milkiyyah.

Islam Mengharamkan Kebebasan Bekerja

Begitu juga bekerja, Islam juga tidak mengenal konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal). Konsep ini juga ditentang oleh Islam. Islam hanya mengenal konsep Ibahatu al-‘Amal.

Sebagaimana konsep kebebasan kepemilikan, konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal) ini juga membebaskan manusia untuk bisa melakukan pekerjaan apapun, tanpa melihat apakah pekerjaan tersebut halal atau haram. Orang boleh bekerja sebagai pelacur, mucikari, membuat khamer, termasuk menghalalkan segala cara. Semuanya bebas. Itulah konsep kebebasan bekerja (Hurriyatu al-‘Amal).

Ini berbeda dengan konsep Ibahatu al-‘Amal. Karena justru faktor halal dan haramlah yang menentukan boleh dan tidaknya pekerjaan tersebut dilakukan oleh seseorang. Bekerja adalah salah satu aktivitas manusia, dan hukum asalnya mubah. Tiap Muslim boleh bekerja, tetapi cara (pekerjaan) yang dia lakukan untuk menghasilkan harta jelas terikat dengan hukum syariah. Dia boleh bekerja sebagai buruh, berdagang, bertani, berkebun, tetapi ketika dia melakukan pekerjan tersebut harus terikat dengan hukum syariah. Karena itu, dia tidak boleh memproduksi khamer, melakukan jual beli babi, membudidayakan ganja, atau bekerja di perseroan saham, bank riba, kasino, dan sebagainya. Karena jelas hukum pekerjaan tersebut diharamkan oleh Islam.

Terkadang ada pekerjaan yang asalnya mubah, tetapi dilakukan dengan cara yang tidak benar. Contoh, samsarah (makelar). Dalam melakukan makelar, seorang broker harus terikat dengan ketentuan dan hukum tentang samsarah, termasuk tidak boleh melakukan samsarah ‘ala samsarah, sebagaimana salam kasus bisnis MLM.

Dengan demikian, dua faktor yang memicu terjadi masalah perburuhan tersebut telah berhasil dipecahkan oleh Islam, dengan mengharamkan konsep kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja. Sebaliknya, Islam memberikan solusi yang tepat dan tuntas, melalui konsep Ibahatu al-Milkiyyah dan Ibahatu al-‘Amal.

Solusi Islam: Standar Gaji Buruh

Dalam menentukan standar gaji buruh, standar yang digunakan oleh Islam adalah manfaat tenaga (manfa’at al-juhd) yang diberikan oleh buruh di pasar, bukan living cost terendah. Karena itu, tidak akan terjadi eksploitasi buruh oleh para majikan. Buruh dan pegawai negeri sama, karena buruh mendapatkan upahnya sesuai dengan ketentuan upah sepadan yang berlaku di tengah masyarakat.

Jika terjadi sengketa antara buruh dan majikan dalam menentukan upah, maka pakar (khubara’)-lah yang menentukan upah sepadan (ajr al-mitsl). Pakar ini dipilih oleh kedua belah pihak. Jika keduanya tidak menemukan kata sepakat, maka negaralah yang memilihkan pakar tersebut untuk mereka, dan negaralah yang akan memaksa kedua belah pihak ini untuk mengikuti keputusan pakar tersebut.

Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (upah minimum regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.

Hak Berserikat dan Serikat Pekerja

Mengenai hak berserikat bagi buruh, maka hak ini tidak dinafikan oleh Islam. Mereka boleh berkumpul, baik dengan sesama buruh, maupun buruh dengan para majikan. Hanya saja, diperbolehkannya hak berserikat ini tidak berarti Islam membolehkan para buruh tersebut membentuk serikat pekerja. Karena ini merupakan dua hal yang berbeda.

Berkumpul adalah hak yang dijamin oleh syariah. Namun, membentuk serikat pekerja yang mengurusi kesejahteraan buruh, dan sebagainya merupakan aktivitas ri’ayatu as-syu’un yang hanya boleh dilakukan oleh negara. Karena itu, hak membentuk serikat pekerja yang melakukan ri’ayatu as-syu’un tidak diberikan kepada yang lain, selain kepada negara. Karena negaralah yang bertanggungjawab terhadap kewajiban ri’ayatu as-syu’un ini, baik dalam perkara parsial maupun menyeluruh.

Mengenai hak mogok kerja, pada dasarnya hak ini tidak ada dalam Islam. Karena kontrak kerja buruh ini merupakan akad ijarah, dan akad ijarah ini merupakan akad yang mengikat, bukan akad suka rela yang bisa dibatalkan sepihak dengan seenaknya.

Tentang dana pensiun, penghargaan dan kompensasi yang diberikan kepada para buruh, pada dasarnya ini merupakan bentuk tambal sulam sistem Kapitalis untuk memenuhi kebutuhan kaum buruh yang dianggap tidak mampu. Hanya saja, upaya ini telah menghilangkan kewajiban negara untuk memberikan jaminan kepada rakyatnya agar bisa memenuhi kebutuhannya. Karena kewajiban ini merupakan kewajiban negara. Bukan kewajiban majikan atau perusahaan.


Dengan demikian, berbagai solusi yang dilakukan oleh sistem Kapitalis ini pada dasarnya bukanlah solusi. Tetapi, sekadar “obat penghilang rasa sakit”. Penyakitnya sendiri tidak hilang, apalagi sembuh. Karena sumber penyakitnya tidak pernah diselesaikan. Karena itu, masalah perburuhan ini selalu muncul dan muncul, karena tidak pernah diselesaikan.

Konsep dan solusi Islam di atas benar-benar telah teruji, ketika diterapkan oleh Negara Khilafah. Hal yang sama akan terulang kembali, jika kelak khilafah berdiri, dan Islam diterapkan. Wallahu a’lam.[HTIPress/al-khilafah.org

Selasa, 05 Juni 2012

Bercanda yang Berpahala

Sering kali kita melengkapi kehidupan ini dengan canda dan tawa. Terkadang kita memerlukan penyegaran kembali setelah lama beraktifitas dan menjalani berbagai kesibukan yang melelahkan. Di saat itulah kita dapat melepaskan lelah dan penat dengan canda dan tawa. Hal itu kerap kali terjadi pada para wanita, terkadang bermula dari pembicaraan beberapa orang (ngobrol) dan setelah itu timbul canda dan tawa (guyon).
Namun perlu diwaspadai, akankah canda tersebut menimbulkan masalah atau tidak?
Karena banyak masalah besar yang awalnya hanya diakibatkan karena bercanda yang berlebihan. Nah, mengapa hal ini bisa terjadi? Kemungkinan ada sesuatu yang salah di dalamnya.
Dalam agama Islam canda dan tawa ini diperbolehkan sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, beliau pernah bercanda dengan isteri dan sahabat beliau. Oleh karena itu saudariku, kita perlu mengetahui bagaimana adab bercanda sehingga tidak menimbulkan masalah tetapi justru berpahala yaitu dengan meneladani bagaimana adab bercanda yang Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam ajarkan.


Bercandalah dengan Niat yang Benar
Saudariku mulailah dari niat yang benar ketika akan mengawali suatu amalan, setelah itu lakukan amalan tersebut sesuai dengan petunjuk dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam termasuk dalam bercanda. Perbuatan ini akan mejnadi sia-sia apabila tidak dilandasi dengan kedua syarat tersebut (niat yang lurus dan mengukuti petunjuk Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam).  Niat yang lurus maksudnya supaya bersemangat untuk melakukan perkerjaan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat dan memperhatikan adab Rasulullah dalam bercanda.

Jangan Berlebihan dalam Bercanda dan Tertawa
Saudariku, ketahuilah. Bercanda dan tertawa yang berlebihan dapat mengeraskan hati, serta dapat menjatuhkan kewibawaan kita di hadapan orang lain.

Jangan Bercanda dengan Orang yang Tidak Suka Bercanda
Setiap orang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Ada tipe orang yang suka bercanda namun juga ada orang yang serius atau tidak suka bercanda. Terkadang juga ada yang mempunyai sifat perasa dan ada juga yang nyantai/ cuek. Mengenali sifat orang dalam bergaul apalagi dalam bercanda sangat diperlukan. Jangan sampai menempatkan sesuatu yang tidak sesuai dengan tempatnya sehingga berlaku dhzolim terhadap saudara kita. Bisa saja dengan ucapan tersebut saudara kita menjadi sakit hati, padahal kita tidak menyadari akan hal tersebut.
Saudariku, tidak dalam segala perkara kita boleh bercanda, ada hal-hal yang diharamkan kita bercanda yaitu:

1. Bercanda/ bermain-main dengan syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala
Orang-orang bermain-main atau mengejek syari’at Allah atau Al Qur’an atau Rasulullah serta sunnah, maka sesungguhnya dia kafir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah berfirman, yang artinya,
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab,”Sesungguhnya kami hanyalah bersendau gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu meminta maaf, karena engkau telah kafir sesudah beriman…” (Qs. At Taubah: 65-66).
Ayat ini turun berkaitan dengan seorang laki-laki yang mengolok-olok dan berdusta dengan mengatakan bahwa Rosulullah dan shahabatnya adalah orang yang paling buncit perutnya, pengecut dan dusta lisannya. Padahal laki-laki ini hanya bermaksud untuk bercanda saja. Namun bercanda dengan mengolok-olok atau mengejek syari’at agama dilarang bahkan dapat menjatuhkan pelakunya pada kekafiran.

2. Berdusta saat bercanda
Ada sebagian orang yang meremehkan dosa dusta dalam hal bercanda dengan alasan hal ini hanya guyon saja untuk mencairkan suasana. Hal ini telah di jawab oleh sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Aku menjamin sebuah taman di tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di bagian tengah Surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun ia bercanda, dan istana di bagian atas surga bagi seorang yag baik akhlaknya.” (HR. Abu Daud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bercanda, namun tetap jujur serta tidak ditambahi kata-kata dusta. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku juga bercanda, dan aku tidak mengatakan kecuali yang benar.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Kabir)
Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah seorang yang berbicara dusta untuk membuat orang tertawa, celakalah ia, celakalah ia.” (HR. Ahmad).
Dusta dalam bercanda bahkan sering ditemui bahkan dijadikan tontonan seperti lawak yang dijadikan sebagai hiburan di televisi dan sepertinya sudah akrab dan tidak lagi disalahkan. Padahal hal tersebut bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Apabila kita mau merenungi hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka tentunya kita tidak akan berani untuk berdusta sekalipun dalam bercanda.

3. Menakuti-nakuti seorang muslim untuk bercanda
Tidak diperbolehkan menakuti seorang muslim baik serius atau bercanda. Bayangkan apabila kita membuat terkejut seseorang, padahal beliau mempunyai sakit jantung. Perbuatan ini dapat membuat mudharat yang lebih besar, yaitu dapat mendadak meninggal dengan sebab perbuatan tersebut. Perbuatan ini tidak boleh dilakukan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang dari kalian mengambil barang milik saudaranya baik bercanda ataupun bersungguh-sungguh, barangsiapa mengambil tongkat saudaranya hendaklah ia mengembalikan.” (HR. Abu Daud).

4. Melecehkan kelompok tertentu
Ada juga orang yang bercanda dengab mengatakan “Hai si hitam” dengan maksud menjelek-jelekkan penduduk dari daerah tertentu yang asal kulitnya adalah hitam.
Hal ini tidak diperbolehkan sesuai dengan firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan jangan suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah panggilan yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim” (Qs. Al-Hujuraat: 11)
Yang dimaksud dengan “Jangan suka mencela dirimu sendiri”,  ialah mencela antara sesama mukmin, sebab orang-orang mukmin seperti satu tubuh.

5.  Menuduh manusia dan berdusta atas mereka
Misalnya seorang bercanda dengan sahabatnya lalu ia mencela, menuduhnya atau mensifatinya dengan perbuatan keji. Seperti seseorang berkata kepada temannya, “Hai anak zina.” Tuduhan ini bisa menyebabkan jatuhnya hukum, karena menuduh ibu dari anak tersebut telah melakukan zina.

Bercandalah kepada Orang yang Membutuhkan
Bercandalah kepada anak-anak seperti yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Hai dzul udzunain (wahai pemilik dua telinga).”
Dari hadits ini dapat kita lihat bahwa Rasulullah tidak pernah berdusta walaupun dalam keadaan bercanda dan beliaulah orang yang paling lembut hatinya.
Saudariku, semoga Allah menjaga kita dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan dapat menjadikan setiap detik kita amalan yang diberkahi. Wallohul musta’an.

*) Diringkas dari buku Panduan Amal Sehari Semalam pada bab “Bercanda Boleh Saja, Tetapi…”dengan sedikit perubahan dan tambahan dari kitab Al Irsyad oleh Ummu Salamah.
Sumber : http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/bercanda-yang-berpahala.html

Jumat, 01 Juni 2012

Kumpulan Beberapa Hadist

  1. Dari Abu Sa'id (Sa'ad bin Malik bin Sinan) al-Khudry berkata: Rasulullah saw bersabda, "Pernah terjadi pada umat terdahulu seseorang yang telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa kemudian ingin bertaubat maka ia pun mencari seorang alim lalu ditunjukkan kepadanya seorang pendeta maka ia pun bertanya, "Sesungguhnya saya telah membunuh sembilan puluh sembilan jiwa apakah ada jalan bagiku untuk bertaubat?" Jawab pendeta, "Tidak ada" Seketika pendeta itupun dibunuhnya sehingga genaplah seratus orang yang telah dibunuhnya. Kemudian ia mencari orang alim lainnya dan ketika telah ditunjukkan iapun menerangkan bahwa ia telah membunuh seratus orang apakah ada jalan untuk bertaubat? Jawab si alim, "Ya, ada dan siapakah yang dapat menghalangimu untuk bertaubat? Pergilah ke dusun itu karena di sana banyak orang-orang yang taat kepada Allah. Maka berbuatlah sebagaimana perbuatan mereka dan jangan kembali ke negerimu ini karena negerimu ini adalah tempat penjahat." Maka pergilah orang itu tetapi di tengah perjalanan mendadak ia mati. Maka bertengkarlah Malaikat rahmat dengan Malaikat siksa. Malaikat rahmat berkata, "Ia telah berjalan untuk bertaubat kepada Allah dengan sepenuh hatinya." Malaikat siksa berkata, "Ia belum pernah berbuat kebaikan sama sekali." Maka datanglah seorang Malaikat berupa manusia yang menjadi juru penengah (hakim) di antara mereka. Ia berkata, "Ukur saja jarak antara dusun yang ditinggalkan dan yang dituju maka kemana ia lebih dekat, masukkanlah ia kepada golongan orang sana. Maka diukurlah kedua jarak itu dan ternyata lebih dekat kepada dusun orang-orang baik yang dituju, kira-kira terpaut sejengkal. Maka dipeganglah ruhnya oleh Malaikat rahmat."
    (Bukhari - Muslim)
  2. Dari Utsman bin Affan ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidak seseorang memasuki waktu shalat wajib kemudian ia berwudhu' dan shalat dengan khusyu' dan memelihara ruku'nya, melainkan akan terhapus dosa-dosanya yang telah lalu selama tidak melakukan dosa besar, hal itu berlaku sepanjang masa."
    (Muslim)
  3. Dari Imran bin Hushain ra., Rasulullah saw bersabda: "Ada 70.000 orang dari umatku yang masuk surga tanpa hisab." Para sahabat bertanya, "Siapakah mereka, ya Rasulullah?" Rasulullah saw bersabda, "Mereka adalah orang yang tidak beristirqa' (meminta pengobatan dengan cara jampi-jampi) tidak bertathayyur (menggantungkan nasib kepada terbangnya burung), tidak melakukan pengobatan dengan cara membakar bagian yang sakit dengan besi panas membara dan orang-orang yang bertawakkal kepada Rabb mereka."
    (Muslim)
  4. Dari Abdillah bin Mas'ud ra. bahwa Rasulullah saw bersabda, "Orang yang mempunyai sifat sombong sedikit saja di dalam hatinya tidak akan masuk surga." Seseorang berkata, "Bagaimana halnya ihwal seseorang yang mempunyai pakaian-pakaian yang indah dan sepatu-sepatu yang indah?" Rasulullah saw bersabda, "Allah itu indah dan Allah menyukai keindahan (Seseorang tidak disebut sombong jika ia mempercantik dirinya). Kesombongan terletak pada penolakan terhadap kebenaran danmemandang orang lain rendah."
    (Muslim)
  5. Dari Abu Hurairah (Abdurrahman bin Shaher) r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, "Shalat berjama'ah pahalanya melebihi shalat sendirian baik di tempat pekerjaan atau di rumah, dua puluh lima derajat. Yang demikian itu karena jika seseorang telah menyempurnakan wudhu kemudian pergi ke masjid tanpa tujuan lain selain shalat maka tidak bertindak selangkah melainkan diangkat sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa hingga masuk ke masjid. Apabila telah berada di dalam masjid maka ia dianggap mengerjakan shalat selama ia masih menantikan shalat (selama bertahan karena menunggu shalat) dan Malaikat memohonkan rahmat atau mendoakan seseorang selama ia dalam majelis shalatnya. Malaikat berdoa, Ya Allah, kasihanilah dia; ya Allah, ampunilah dia; ya Allah, maafkanlah dia. Demikian itu selama ia tidak mengganggu dan belum berhadats di tempat itu."
    (Bukhari - Muslim)
  6. Dari Abdullah bin Abbas r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah mencatat segala hasanat (kebaikan) dan sayyiat (kejahatan) kemudian menjelaskan keduanya maka barangsiapa yang berniat akan melakukan kebaikan lalu dikerjakannya maka akan dicatat untuknya sepuluh hasanat mungkin ditambah hingga tujuh ratus kali lipat atau lebih dari itu.Dan apabila ia berniat akan melakukan sayyiat (kejahatan) lalu tidak dikerjakannya maka Allah mencatat baginya satu hasanat dan jika niat itu dilaksanakannya maka ditulis baginya satu sayyiat."
    (Bukhari - Muslim)
  7. Dari Abi Hurairah ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Lazimnya, seseorang mengawini seorang wanita karena empat alasan: karena kekayaannya; karena martabat keluarganya; karena kecantikannya dan karena kesalehannya. Lebih baik pilihlah ia karena kesalehannya. Semoga engkau tetap rendah hati."
    (Bukhari)
  8. Dari Adiyyi bin Hatim ra. meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Bersedekahlah supaya engkau diselamatkan dari api neraka walaupun hanya sebagian dari sebuah kurma."
    (Bukhari)
  9. Dari Abi Hurairah ra. menceritakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Saya bersaksi dengan nama Allah, ia bukan orang yang beriman. Saya bersaksi dengan nama Allah, ia bukan orang yang beriman.

Do'a

berdo'a pada hari jum'at

Pada pembahasan lalu yang bertema 'Mengapa Doa Kita Dikabulkan?' Ada yang bertanya, 'apakah ada waktu yang khusus sebuah doa itu dikabulkan oleh Allah?' Saya kemudian menjawabnya, 'Ada, yaitu hari jumat.' Berdoa di hari jumat adalah waktu yang tepat sebuah doa dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Ditengah kita gelisah, dirundung duka sebaiknya memanfaatkan waktu di hari jumat untuk berdoa memohon kepada Allah sebab pada hari jumat doa kita diijabah atau dikabulkan oleh Allah. Sebagaimana sabda Nabi Muhamad Shalallahu Alaihi wa Salam,

' Sesungguhnya pada hari jumat ada suatu saat tidaklah seorang muslim memohon kebaikan kepada Allah, melainkan dikabulkan permohonannya itu.' (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, at-Tirmidzi, an-Nasa'i, Ibnu Majah).

Nabi Muhammad memberikan petunjuk kepada kita agar kita berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala di hari jumat pada dua waktu yang tepat, yaitu.

Pertama, Waktu yang mustajab pada hari jumat adalah ketka khatib duduk khutbah pada pelaksanaan sholat jumat sampai sholat jumat selesai dilaksanakan. Rasulullah pernah ditanya tentang hal itu dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Salam menjawab.

'Yaitu ketika imam (khatib) duduk (diantara dua khutbah) sampai sholat (jumat) selesai dilaksanakan.' (HR. Muslim & Abu Dawud).

Kedua, Saat mustajab pada hari jumat adalah sore hari jumat. Hal ini didasarkan oleh Sabda Nabi.

'Yaitu di saat-saat terakhir siang hari jumat, setelah ashar.' (HR. Muslim & Abu Dawud)