Selasa, 18 Desember 2012 - 15:05 WIBNEOLIBERALISME DAN PERJUANGAN BURUH
Perbincangan
mengenai nasib buruh tidak akan pernah mendapati ujung ketika kompetisi
modal diberi ajang yang lebar, ketika sistem memberikan penghormatan
terhadap kepemilikan pribadi. Dan eksploitasi membabibuta terhadap buruh
bisa diawali dari fakta ini, dimana buruh sudah dipandang sebagai
komoditas yang bebas diperlakukan untuk melipatgandakan keuntungan dari
modal yang telah ditanam.
Tragis, tentu inilah jawaban kita. Karena ini penggambaran betapa
rendahnya penghargaan terhadap nilai kemanusiaan. Ungkapan-ungkapan
agung yang sering kita dengar dalam kitab-kitab suci seperti cinta
kasih, derma, keadilan, integritas, persamaan, dll. kini benar-benar
telah sirna, terbang, mendebu, tersapu arus keserakahan para pengenggam
kekuatan modal.
Deskripsi faktual di atas memberi penegasan teologis dan filosofis
bahwa ada perubahan besar di dalama cara kerja manusia dalam membangun
pedababan. Benar, Marx, dalam
The Communist Manifesto, yang
ditulis pada abad ke-19, telahmenyatakan bahwa sejarah semua masyarakat,
baik dahulu maupun kini, adalah sejarah perjuangan kelas, yakni antara
penindas dan yang ditindas, namun nilai-nilai kemanusiaan masih bisa
kita jumpai dalam banyak ruang. Tapi hari ini kita akan menemui hal yang
samasekali berbeda. Seluruh ruang, jalan, garis, bahkan tempat yang
paling dianggap sakral pun, sudah menjadi tempat kegiatan penambangan
keuntungan – tempat untuk melipatgandakan modal.
Ini sebuah pergeseran yang fundamental. Mengapa? Pertama, hari ini,
pondasi nilai yang menjadi landasan bagi manusia untuk bertindak hari
ini benar-benar hancur, menjadi serpihan-serpihan buram; kedua, hari
ini, harkat kemanusiaan telah meluruh, sejajar dengan harkat barang. Dan
kondisi buruk ini, yang tampak mata, yang secara nyata keberadaannya
telah dikomoditaskan, adalah kaum buruh.
Kaum buruh, yang dihargai selayaknya komoditas ini, yang secara
sosiologis bukanlah sebuah kelas yang bebas, kondisinya semakin hari
semakin bertambah buruk. Ini berlaku di banyak negara, terutama di
negara terbelakang seperti Indonesia, dimana buruh menghadapi tantangan
berat globalisasi dan neo-liberalisme yang meniscayakan migrasi bebas
modal dan tenaga kerja di seluruh dunia.
Kaum buruh di Indonesia yang mayoritas pekerja industri (
the blue collar)
yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dipastikan akan menjadi
komoditas kekuasaan modal yang bernilai jual rendah. Sehingga ketika
terjadi fase liberalisasi ketenagakerjaan lintas negara, kaum buruh di
Indonesia akan gagal bersaing dan tersisih.
Realitas ekonomi-politik dengan putaran globalisasi neoliberal akan
berdampak sosio-ekonomi-politis bagi kehidupan kaum buruh di Indonesia.
Angka kemiskinan permanen akan melanda kehidupan kaum buruh di Indonesia
yang ber-upah murah. Karena kaum buruh yang posisi tawarnya rendah akan
terjebak dalam skenario politik upah murah sedangkan laju harga
kebutuhan hidup semakin menanjak karena desakan privatisasi dan
liberalisasi.
Neoliberalisme merupakan sebuah ideologi dan sekaligus strategi. Poin
penting dari neoliberalisme adalah menciptakan buruh murah demi
akumulasi modal yang berlipat. Neoliberalisme, sebagai sebuah strategi,
mengusahakan terselenggaranya swastanisasi (privatisasi), pemotongan
bantuan makanan dan perumahan, melipatgandakan penjara, perayaan hukuman
mati, memecah belah serikat buruh, memagari tanah, upah rendah,
keuntungan lebih tinggi, terorisme keuangan, menggantikan orientasi
ekspor dengan pembangunan impor, mobilitas kapital bebas, memecah belah
imigran, menonjolkan rasisme, anti gerakan feminis, mengintensifkan
perang terhadap petani, mempercepat komodifikasi alam atas nama
kebebasan, efisiensi dan keuntungan. Semua ini tentu bukan untuk
kemakmuran bersama, tetapi untuk sekelompok pemilik modal besar dan
pengendali kekuasaan.
Istilah ini memang sudah familiar di kalangan buruh, namun secara
detail, susah untuk dipahami. Friedman, 1962, memberi arti pada istilah
ini sebagai ‘kemerdekaan’ atau ‘kebebasan’ (freedom). Menurut peraih
nobel dalam bidang ekonomi tahun 1976 tersebut, dalam bukunya,
Capitalism and Freedom, yang juga dianggap sebagai salah satu penggagas ide-ide neoliberalisme,
freedom adalah konten inti dari neoliberalisme. Menurutnya, kemerdekaan ekonomi merupakan keharusan untuk menuju kemerdekaan politik.
Tentu, ini sangat menggelikan.
freedom adalah kata yang mengundang banyak tafsir, tergantung siapa yang menafsirkan. Jika yang menafsirkan para pemilik modal,
freedom, sudah
barangjadi, sebuah kebebasan untuk merampok kekayaan banyak orang
melalui legalitas-legalitas yang dibayar; bebas mengendalikan kekuasan,
atau paling tidak ikut campur dalam pembuatan kebijakan-kebijakan,
karena mereka memiliki sejumlah besar kekuatan.
Istilah yang sering kita dengar dari neoliberalisme, dan ini menjadi
acuan perlawanan bagi kaum buruh, adalah paham yang menekankan jaminan
terhadap kemerdekaan dan kebebasan individu melalui pasar bebas,
perdagangan bebas, dan penghormatan terhadap sistem kepemilikan pribadi.
Dan perlawanan kaum buruh melalui serikat-serikat buruh merupakan
ancaman besar bagi mereka. Sebisa mungkin mereka akan melakukan
intervensi dalam pembuatan kebijakan perburuhan, atau, siap membayar
para pembuat UU perburuhan yang merugikan kaum buruh. Akibatnya, dampak
dari penerapan kebijakan neoliberalisme ini, terjadi pergeseran hubungan
kerja antara buruh dengan perusahaan dari hubungan kerja yang bersifat
tetap menjadi hubungan kerja bersifat kontrak atau tidak tetap. Secara
legal, pergeseran itu tertuang dalam UU. No. 13/2003.
Di bawah syarat-syarat kerja yang baru, kehidupan buruh kontrak ini
lebih buruk dari sebelumnya, karena buruh kontrak sering mendapatkan
upah jauh di bawah ketentuan upah minimum. Selain itu, buruh kontrak
juga tidak memperoleh cuti haid dan melahirkan, cuti tahunan, serta cuti
berobat ke rumah sakit. Jika buruh kontrak sakit dan tidak bisa masuk
kerja, otomatis pendapatan mereka berkurang, dan siap-siap diputus
kontraknya secara sepihak. Buruh kontrak juga tidak diperbolehkan untuk
bergabung dengan serikat buruh di tingkat pabrik, jika melanggar
ketentuan ini, mereka bisa gigit jari karena perusahaan bisa memecatnya
kapan pun. Ya Allah!
Melihat fakta yang menyakitkan ini, membangun serikat buruh
progresif, membangun kesadaran politik dan kesadaran kelas, adalah hal
yang perlu. Gerakan Buruh di Indonesia selama beberapa tahun terakhir
sepertinya telah mengalami disorientasi dan kemandekan radikalisme
sosialnya. Gerakan buruh yang menjadi kekuatan pendobrak kediktatoran
Orde Baru diakhir 90-an meredup menjadi sekadar gerakan kritis atas
kebijakan politik perburuhan yang anti-kepentingan buruh. Banyak serikat
atau organisasi buruh yang semula mekar tumbuh di awal reformasi
sekarang hidupnya kembang kempis. Di negeri ini mungkin hanya 1-2
serikat buruh yang memiliki basis massa progresif, visi, ideologi,
kesadaran kelas, dan
platform politik yang jelas.
Untuk membangun basis massa progresif, visi, ideologi, kesadaran kelas, dan
platform
politik yang jelas serta untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan
pembebasan buruh bukanlah hal yang mudah. Para organiser buruh harus
mampu menganalisa faktor-faktor obyektif dan subyektifnya. Faktor-faktor
obyektif berarti terkait dengan kondisi riil penindasan yang tengah
dihadapi buruh. Sedangkan factor-faktor subyektif terkait dengan
kesiapan untuk melakukan perlawanan, panggung-panggung politik seperti
apa yang harus diciptakan, dan sudah sejauh mana capaian buruh atas
kesadaran politik dan kelasnya.
Hal penting yang sering terjadi dan perlu segera diantisipasi, bahwa
para kader pegiat gerakan buruh seringkali terilusi oleh jargon-jargon
“demokrasi” yang diluncurkan oleh beberapa organisasi progresif yang
sebenarnya para kaki tangan pemilik modal. Demokrasi liberal yang
cenderung memberi peluang bagi segelintir pemilik modal sudah tidak
relevan sebagai basis pijak dalam membebaskan buruh dari penindasan
struktural ini. Ketika mekanisme pengelolaan modal masih didominasi oleh
kepentingan segelintir orang niscaya buruh tetap akan menjadi bahan
mentah untuk dieksploitasi.
Oleh sebab itu, lompatan jauh secara politik dan ekonomi merupakan
jalan terakhir yang susah untuk ditawar lagi. SBSI-Nophee Yohana.
-cip