Abdul Hadi W. M.
Banyak salah kira apabila para sufi dan mistikus berbicara tentang
cinta. Sering kata-kata ini hanya dikaitkan dengan tema lagu-lagu
popular. Dalam kenyataan tidak demikian halnya.
Sebagai kata-kata konseptual dalam wacana tasawuf dan mistisisme,
atau falsafah mistik/sufi, makna atau arti yang dikandung istilah Cinta
sebenarnya sebegitu luasnya. Berikut ini adalah penjelasan dan
pandangan beberapa sufi terkemuka tentang cinta dan keindahan, dua kata
yang selalu digandengkan dalam wacana tasawuf dan estetika.
Ali Usman al-Hujwiri Sufi besar dari Afghanistan abad ke-11 M Ali Utsman al-Hujwiri menuturkan sebagai berikut: “Mahabbat (cinta) dikatakan berasal dari hibbat, yang merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di tengah gurun. Nama hubb (cinta) diberikan kepada benih-benih gurun tersebut (hibb),
oleh karena cinta merupakan sumber dari kehidupan yang adil sebagaimana
benih yang merupakan asal tanam-tanaman. Seperti halnya jika
benih-benih itu ditebarkan di gurun, mereka lantas terpendam di bumi dan
hujan jatuh di atasnya dan matahari menyinarinya dan panas serta dingin
lewat atasnya, namun benih-benih itu tak terpengaruh oleh perubahan
musim, namun tumbuh dan memunculkan bunga-bunga dan memberi buah,
begitulah cinta, bila ia memilih tempat kediamannya dalam hati, tak
terganggu oleh kehadiran dan ketakhadiran, oleh suka atau duka, oleh
perpisahan atau persatuan.
Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari kata hubb,
yang berarti “sebuah kendi yang penuh genangan air”, oleh karena
bilamana cinta terkumpul dalam hati dan memenuhinya, tak ada lagi ruang
bagi pikiran kecuali sang kekasih, sebagaimana Shibli mengatakan: “Cinta
disebut mahabbat oleh karena ia menghapus (tamhu) segala hal selain kekasih.” Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari hubb,
yang berarti “empat keping kayu di atas mana kendi air diletakkan”,
oleh karena seorang pencinta merasa ringan membawa apa saja yang
ditimpakan oleh kekasihnya kepadanya, pujian atau hinaan, duka atau
senang, kata yang baik atau yang jelek”. Menurut yang lain, mahabbat berasal dari kata habb, bentuk jamak habbat, dan habbat adalah teras hati di mana cinta berdiam. Dalam hal ini, mahabbat
disebut berdasar nama tempat-kediamannya (yaitu hati), (karenanya
lantas diberi arti sebagai) suatu prinsip yang (dipegang teguh dan)
memiliki contoh bermacam-macam di dalam bahasa Arab. Yang lain
mengasalkannya dari kata habab, “air yang mendidih dan semangat
yang melonjak, ketika hujan lebat turun”, oleh karena itu cinta adalah
semangat hati dalam merindukan persatuan dengan kekasih.
Apabla tubuh mendapatkan hidup dari ruh (nyawa), maka begitulah hati
memperoleh hidup dari cinta, dan cinta memperoleh hidup dari penglihatan
batin tentang, dan persatuan dengan, kekasih.
Yang lain lagi, menyatakan bahwa hubb dipakai untuk cinta murni, oleh karena orang-orang Arab menyebut kemurnian mata manusia habbat al-insan, sama seperti menyebut kelamnya kalbu yang murni habbat al-qalb:
yang kemudian adalah tempat diam cinta, yang sebelumnya penglihatan
batin. Di sini hati dan mata saling berlomba dalam cinta, sebagaimana
penyair menyatakan: Hatiku mencemburui pandangan senang mataku Dan
mataku iri pada kekhusyukan hatiku Uraian Anda harus paham bahwa
istilah “cinta” (mahabbat) dipakai oleh ahli kalam (teologi) dalam tiga
arti. Pertama, sebagai keinginan yang tak putus-putus terhadap sasaran
cinta, dan kecenderungan hati serta berahi, di mana ia hanya merujuk
pada wujud-wujud ciptaan dan pengaruh timbal balik satu sama lain, tapi
tak terpakai untuk Tuhan, yang luhur melampaui segala ini. Kedua,
berarti Kemurahan Tuhan dan keistimewaan yang Dia berikan kepada yang
dipilih dan diperkenankan memperoleh pangkat kewalian yang sempurna dan
secara khusus berada dari aneka mukjizat biasa. Ketiga, berarti pujian
yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang baik amal perbuatannya
(thana-yi-jamil). Filosof-filosof Skolastik mengatakan bahwa Cinta
Tuhan, yang Dia nyatakan supaya diketahui oleh kita, bertalian dengan
sifat-sifat yang lazim, seperti wajah-Nya dan tangan-Nya dan tempat
duduk-Nya sendiri yang kuat dan arasy-Nya (istiwa), dari mana keberadaan
dari titik pandang akal bisa tampak mungkin jika tak dinyatakan sebagai
sifat-sifat Ilahi di dalam Qur’an dan Sunnah. Karena itu kita
meneguhkannya dan meyakininya, namun pemahaman mengenai itu terhalang.
Pengertian Skolastik ini menolak istilah “Cinta” dapat dipakai kepada
Tuhan dalam segala artinya seperti yang telah saya bicarakan. Sekarang
saya akan menerangkannya kepada anda soal ini sebenarnya. Cinta Tuhan
kepada Manusia adalah kehendak baik-Nya terhadap manusia dan
Kasih-sayang-Nya kepada manusia. Cinta adalah sebuah nama dari kehendak
(iradat)-Nya, seperti halnya “puas”, “marah”, dan “murah hati” dan
lain-lain, dan Kehendak-Nya merupakan sifat kekal darimana Dia
menghendaki tindakan-tindakanNya berlaku. Singkatnya, cinta Tuhan kepada
Manusia mencakup penampakan karunia yang lebih kepada manusia, dan
pemberian ampunnya di dunia ini dan hari kemudian, dan membuatnya
berkedudukan mulia dan mencapai tingkatan tinggi dan menyebabkannya
memalingkan pikirannya jauh-jauh dari segala yang selain Tuhan. Bilamana
Tuhan secara khusus membedakan seseorang di jalan ini, maka kekhususan
kehendak-Nya disebut cinta. Inilah ajaran Harith Muhasibi dan Junayd dan
sebagian besar Syekh-syekh Sufi sebagaimana ahli-ahli syariah menganut
aliran ini dan kebanyakan filosof Skolastik aliran Sunnah juga berpegang
pada pandangan serupa. Mengenai pernyataan yang menyebut bahwa cinta
Ilahi merupakan “pujian yang diberikan kepada orang amal perbuatannya
baik” (thana-yi Jamil bar banda), pujian Tuhan adalah kalam-Nya, yang
tak tercipta; pernyataan bahwa cinta Ilahi berarti “kasih sayang”,
kasih-sayang-Nya tercakup dalam tindakan-tindakan-Nya. Di sinilah
perbedaan pandangan yang pokok muncul yang bertalian erat satu sama
lain. Cinta manusia kepada Tuhan adalah kwalitas yang menyatakan diri
dalam kalbu orang yang beriman sungguh-sungguh, dalam bentuk pemujaan
dan pengagungan, sehingga ia mencari Pemenuhan Kekasihnya dan menjadi
tak sadar serta gelisah dalam keinginannya untuk melihat-Nya dan tak
dapat diam dengan sesuatu kecuali Dia, dan bertambah akrab dengan zikir
(dhikir, mengingat) terhadap-Nya dan melupakan ingatan terhadap segala
hal di sampingnya. Dia yang mengetahui cinta sejati tak akan mengalami
kesulitan, dan semua keraguannya lenyap. Cinta, lantas, ada dua jenis –
(1) cinta antara sesama, di mana nafsu digerakkan oleh jiwa yang lebih
rendah dan mencari dzat obyek yang dia kasihi melalui hubungan seksual.
(2) cinta seseorang kepada yang tak sejenis dengan obyek cintanya dan
yang mencari kedekatan kepada sifat-sifat dari obyeknya, misalnya
mendengar tanpa berkata-kata, atau melihat tanpa mata. Dan orang beriman
yang mencintai Tuhan ada dua jenis – (1) mereka yang memandang kepada
karunia dan kasih sayang Tuhan dan dibimbing oleh pandangan itu dalam
mencintai Yang Maha Penyayang. (2) mereka yang begitu tertawan oleh
cinta di mana mereka memandang segala karunia sebagai tirai (pemisah
antara dirinya dan Tuhan) dan beranggapan bahwa Yang Maha Pengasih
bergerak menuju (kesadaran-diri) dari yang dikaruniai. Cara yang
terakhir adalah lebih tinggi di antara keduanya.” Hubungan Cinta dan
Keindahan Fazil, sufi abad ke-15 dari Turki menuturkan: “Keindahan di
manapun ia tampak, apa pada manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan dan
logam mulia, merupakan ayat-ayat Tuhan sebagai perwujudan keagungan
Diri-Nya. Dia adalah Yang Serba Indah, sedangkan obyek-obyek yang kita
lihat sebagai sesuatu yang indah, merupakan cermin dari yang jamak di
mana sebadari Diri-Nya yang hakiki menyatakan diri. Karena punya
asal-usul keilahian, keindahan memiliki pengaruh yang halus atas
pemiliknya, membangunkan rasa cinta di dalam diri pemiliknya, sehingga
di mana saja ia berada ia akan mampu memasuki persatuan dengan Tuhan
sendiri. Jadi Tuhan adalah tujuan terakhir dari setiap berahi para
pencintan; namun sementara ia belum ternyatakan oleh si pencinta,
sementara ia masih membayangkan bahwa dunia yang fana merupakan
pengilhamnya yang sebenarnya dan akhir tujuan dari keharuannya, cintanya
itu masih berada dalam tingkatan “khusus”, dan ia sendiri masih dalam
titian “perumpamaan”. Demikianlah Cinta merupakan pembimbing menuju
Dunia Atas Sana, kendali yang membimbingnya menuju Langit; melalui api
Cinta besi dapat berubah menjadi emas, dan tanah liat hitammu berubah
jadi permata yang berkilauan. Cintalah yang membuat si bijak yang lalai
sadar, dan mengubah yang keliru menjadi ahli makrifat; Cintalah yang
merupakan penyingkap Kebenaran, jalan tersembunyi menuju Penyucian
Tuhan. Dan bagi pencinta sejati, dia adalah hati murni dan kesucian
hidup, benda dunia tak ada sangkut paut di matanya; debu dan emas sama
di matanya; kemurahan dan keramahan membedakannya dari yang lain: nafsu
dunia tak memerintah dirinya lagi.” Pandangan Jami, Sufi Iran abad
ke-15 M Keindahan Yang Mutlak adalah Keagungan-Nya yang dilengkapi
dengan sifat-sifat maha kuasa dan maha pemurah. Setiap keindahan dan
kesempurnaan menyatakan diri dalam bermacam-macam tingkatan wujud
bagaikan seberkas sinar keindahan-Nya yang sempurna dan terpantul dari
dalam wujud itu. Dari berkas sinarnya inilah jiwa luhur menerima
pancaran keindahan dan sifat-sifat yang sempurna. Barang siapa yang
banyak memperoleh hikmah, Tuhan akan menganugerahkan lebih banyak lagi
hikmah. Di mana saja ia mendapatkan kepandaian, kepandaiannya itu adalah
hasil akal ketuhanan. Pendek kata, semua merupakan sifat-sifat Tuhan
yang turun dari zenith Yang Serba Sejagatk, dan Maha Mutlak, menuju
nadir dari yang khusus dan nisbi. Mereka diturunkan ke tujuannya agar
langsung sampai ke tujuan, begitulah yang sebagian itu menuju Yang
Menyeluruh. Dan janganlah mengira bahwa yang sebagian itu tercerai dari
Yang Menyeluruh, pun jangan terpesona dengan apa yang nisbi aagar kau
tidak putus hubungan dengan Yang Mutlak. Kukunjungi Taman Bunga Kekasih
Yang Esa Pelita keindahan mengintaiku, dan berkata kepada-Nya “Aku
adalah pohon; kembang-kembang ini adalah cabang-cabang-Mu Jangan
sembunyikan cabang-cabang ini dari-Mu karena pohonnya. Apa gunanya
mawar, bentuk yang penuh karunia itu, Dan cincin yang melingkari
wajahnya? Bila Keindahan Yang Mutlak menyinari sekeliling Mengapa
keindahan yang terbatas harus didekap? Lagi Abdul Rahman al-Jami
menulis dalam sajaknya: Dari semua kekekalan Kekasih menyingkap
keindahan-Nya dalam kesendirian-Nya yang Tak terlihat. Dia menghadapkan
cermin pada wajah-Nya sendiri, Dia menunjukkan pesona-Nya pada Diri-Nya
sendiri. Dia adalah yang menonton dan yang ditonton: tanpa mata namun
penglihatannya meliputi seluruh alam semesta. Semua adalah Satu, tidak
ada keserba-duaan, tidak ada hadirnya “aku” atau “kau”. Sumbu besar
langit, bersama datang dan perginya yang tidak terhitung, dipertemukan
dalam satu titik. Penciptaan meletakkan buaian atas tidur yang tidak
maujud, seperti anak menghela nafas. Mata Kekasih, melihat yang tidak
terlihat, menyebut yang tidak maujud sebagai maujud. Walaupun Dia
melihat tanda-tanda dan sifat-sifat-Nya sebagai keseluruhan yang
sempurna di dalam hakikat-Nya sendiri. Namun dia ingin mereka
diperlihatkan kepada-Nya dalam cermin yang lain. Dan bahwa tiap-tiap
tanda-Nya yang kekal akan menjadi nyata di dalam bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu Dia mencipta lapangan hijau Waktu dan Ruang dan taman
hayat dunia berlimpah rahmat. Agar setiap dahan dan buah bisa
menunjukkan kesempurnaannya yang aneka ragam Pohon cemara memberikan
isyarat akan keanggunan-Nya, mawar menyampaikan warta tentang wajah-Nya
yang indah Di mana pun Keindahan muncul, cinta tampak pula di
sampingnya, di mana pun Keindahan berada pada rambut yang ikal Cinta
akan datang dan menemukan hati terjerat dalam pilinan rambut ikalnya.
Keindahan dan Cinta bagaikan tubuh dan jiwa; Keindahan adalah milikku
dan cinta merupakan batu permatanya. Mereka selalu bersama sejak semula,
tidak pernah pergi jauh satu dengan yang lain, yang berbeda hanyalah
pergaulan mereka.