Sabtu, 23 April 2016

PANDANGAN SUFI TENTANG CINTA

PANDANGAN SUFI TENTANG CINTA
Abdul Hadi W. M.

Banyak salah kira apabila para sufi dan mistikus berbicara tentang cinta. Sering kata-kata ini hanya dikaitkan dengan tema lagu-lagu popular. Dalam kenyataan tidak demikian halnya.
Sebagai kata-kata konseptual dalam wacana tasawuf dan mistisisme, atau falsafah mistik/sufi, makna atau arti yang dikandung istilah Cinta sebenarnya sebegitu luasnya. Berikut ini adalah penjelasan dan pandangan beberapa sufi terkemuka tentang cinta dan keindahan, dua kata yang selalu digandengkan dalam wacana tasawuf dan estetika.
Ali Usman al-Hujwiri Sufi besar dari Afghanistan abad ke-11 M Ali Utsman al-Hujwiri menuturkan sebagai berikut: “Mahabbat (cinta) dikatakan berasal dari hibbat, yang merupakan benih-benih yang jatuh ke bumi di tengah gurun. Nama hubb (cinta) diberikan kepada benih-benih gurun tersebut (hibb), oleh karena cinta merupakan sumber dari kehidupan yang adil sebagaimana benih yang merupakan asal tanam-tanaman. Seperti halnya jika benih-benih itu ditebarkan di gurun, mereka lantas terpendam di bumi dan hujan jatuh di atasnya dan matahari menyinarinya dan panas serta dingin lewat atasnya, namun benih-benih itu tak terpengaruh oleh perubahan musim, namun tumbuh dan memunculkan bunga-bunga dan memberi buah, begitulah cinta, bila ia memilih tempat kediamannya dalam hati, tak terganggu oleh kehadiran dan ketakhadiran, oleh suka atau duka, oleh perpisahan atau persatuan.
Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari kata hubb, yang berarti “sebuah kendi yang penuh genangan air”, oleh karena bilamana cinta terkumpul dalam hati dan memenuhinya, tak ada lagi ruang bagi pikiran kecuali sang kekasih, sebagaimana Shibli mengatakan: “Cinta disebut mahabbat oleh karena ia menghapus (tamhu) segala hal selain kekasih.” Yang lain mengatakan bahwa mahabbat berasal dari hubb, yang berarti “empat keping kayu di atas mana kendi air diletakkan”, oleh karena seorang pencinta merasa ringan membawa apa saja yang ditimpakan oleh kekasihnya kepadanya, pujian atau hinaan, duka atau senang, kata yang baik atau yang jelek”. Menurut yang lain, mahabbat berasal dari kata habb, bentuk jamak habbat, dan habbat adalah teras hati di mana cinta berdiam. Dalam hal ini, mahabbat disebut berdasar nama tempat-kediamannya (yaitu hati), (karenanya lantas diberi arti sebagai) suatu prinsip yang (dipegang teguh dan) memiliki contoh bermacam-macam di dalam bahasa Arab. Yang lain mengasalkannya dari kata habab, “air yang mendidih dan semangat yang melonjak, ketika hujan lebat turun”, oleh karena itu cinta adalah semangat hati dalam merindukan persatuan dengan kekasih.
Apabla tubuh mendapatkan hidup dari ruh (nyawa), maka begitulah hati memperoleh hidup dari cinta, dan cinta memperoleh hidup dari penglihatan batin tentang, dan persatuan dengan, kekasih.
Yang lain lagi, menyatakan bahwa hubb dipakai untuk cinta murni, oleh karena orang-orang Arab menyebut kemurnian mata manusia habbat al-insan, sama seperti menyebut kelamnya kalbu yang murni habbat al-qalb: yang kemudian adalah tempat diam cinta, yang sebelumnya penglihatan batin. Di sini hati dan mata saling berlomba dalam cinta, sebagaimana penyair menyatakan: Hatiku mencemburui pandangan senang mataku Dan mataku iri pada kekhusyukan hatiku Uraian Anda harus paham bahwa istilah “cinta” (mahabbat) dipakai oleh ahli kalam (teologi) dalam tiga arti. Pertama, sebagai keinginan yang tak putus-putus terhadap sasaran cinta, dan kecenderungan hati serta berahi, di mana ia hanya merujuk pada wujud-wujud ciptaan dan pengaruh timbal balik satu sama lain, tapi tak terpakai untuk Tuhan, yang luhur melampaui segala ini. Kedua, berarti Kemurahan Tuhan dan keistimewaan yang Dia berikan kepada yang dipilih dan diperkenankan memperoleh pangkat kewalian yang sempurna dan secara khusus berada dari aneka mukjizat biasa. Ketiga, berarti pujian yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang baik amal perbuatannya (thana-yi-jamil). Filosof-filosof Skolastik mengatakan bahwa Cinta Tuhan, yang Dia nyatakan supaya diketahui oleh kita, bertalian dengan sifat-sifat yang lazim, seperti wajah-Nya dan tangan-Nya dan tempat duduk-Nya sendiri yang kuat dan arasy-Nya (istiwa), dari mana keberadaan dari titik pandang akal bisa tampak mungkin jika tak dinyatakan sebagai sifat-sifat Ilahi di dalam Qur’an dan Sunnah. Karena itu kita meneguhkannya dan meyakininya, namun pemahaman mengenai itu terhalang. Pengertian Skolastik ini menolak istilah “Cinta” dapat dipakai kepada Tuhan dalam segala artinya seperti yang telah saya bicarakan. Sekarang saya akan menerangkannya kepada anda soal ini sebenarnya. Cinta Tuhan kepada Manusia adalah kehendak baik-Nya terhadap manusia dan Kasih-sayang-Nya kepada manusia. Cinta adalah sebuah nama dari kehendak (iradat)-Nya, seperti halnya “puas”, “marah”, dan “murah hati” dan lain-lain, dan Kehendak-Nya merupakan sifat kekal darimana Dia menghendaki tindakan-tindakanNya berlaku. Singkatnya, cinta Tuhan kepada Manusia mencakup penampakan karunia yang lebih kepada manusia, dan pemberian ampunnya di dunia ini dan hari kemudian, dan membuatnya berkedudukan mulia dan mencapai tingkatan tinggi dan menyebabkannya memalingkan pikirannya jauh-jauh dari segala yang selain Tuhan. Bilamana Tuhan secara khusus membedakan seseorang di jalan ini, maka kekhususan kehendak-Nya disebut cinta. Inilah ajaran Harith Muhasibi dan Junayd dan sebagian besar Syekh-syekh Sufi sebagaimana ahli-ahli syariah menganut aliran ini dan kebanyakan filosof Skolastik aliran Sunnah juga berpegang pada pandangan serupa. Mengenai pernyataan yang menyebut bahwa cinta Ilahi merupakan “pujian yang diberikan kepada orang amal perbuatannya baik” (thana-yi Jamil bar banda), pujian Tuhan adalah kalam-Nya, yang tak tercipta; pernyataan bahwa cinta Ilahi berarti “kasih sayang”, kasih-sayang-Nya tercakup dalam tindakan-tindakan-Nya. Di sinilah perbedaan pandangan yang pokok muncul yang bertalian erat satu sama lain. Cinta manusia kepada Tuhan adalah kwalitas yang menyatakan diri dalam kalbu orang yang beriman sungguh-sungguh, dalam bentuk pemujaan dan pengagungan, sehingga ia mencari Pemenuhan Kekasihnya dan menjadi tak sadar serta gelisah dalam keinginannya untuk melihat-Nya dan tak dapat diam dengan sesuatu kecuali Dia, dan bertambah akrab dengan zikir (dhikir, mengingat) terhadap-Nya dan melupakan ingatan terhadap segala hal di sampingnya. Dia yang mengetahui cinta sejati tak akan mengalami kesulitan, dan semua keraguannya lenyap. Cinta, lantas, ada dua jenis – (1) cinta antara sesama, di mana nafsu digerakkan oleh jiwa yang lebih rendah dan mencari dzat obyek yang dia kasihi melalui hubungan seksual. (2) cinta seseorang kepada yang tak sejenis dengan obyek cintanya dan yang mencari kedekatan kepada sifat-sifat dari obyeknya, misalnya mendengar tanpa berkata-kata, atau melihat tanpa mata. Dan orang beriman yang mencintai Tuhan ada dua jenis – (1) mereka yang memandang kepada karunia dan kasih sayang Tuhan dan dibimbing oleh pandangan itu dalam mencintai Yang Maha Penyayang. (2) mereka yang begitu tertawan oleh cinta di mana mereka memandang segala karunia sebagai tirai (pemisah antara dirinya dan Tuhan) dan beranggapan bahwa Yang Maha Pengasih bergerak menuju (kesadaran-diri) dari yang dikaruniai. Cara yang terakhir adalah lebih tinggi di antara keduanya.” Hubungan Cinta dan Keindahan Fazil, sufi abad ke-15 dari Turki menuturkan: “Keindahan di manapun ia tampak, apa pada manusia, hewan atau tumbuh-tumbuhan dan logam mulia, merupakan ayat-ayat Tuhan sebagai perwujudan keagungan Diri-Nya. Dia adalah Yang Serba Indah, sedangkan obyek-obyek yang kita lihat sebagai sesuatu yang indah, merupakan cermin dari yang jamak di mana sebadari Diri-Nya yang hakiki menyatakan diri. Karena punya asal-usul keilahian, keindahan memiliki pengaruh yang halus atas pemiliknya, membangunkan rasa cinta di dalam diri pemiliknya, sehingga di mana saja ia berada ia akan mampu memasuki persatuan dengan Tuhan sendiri. Jadi Tuhan adalah tujuan terakhir dari setiap berahi para pencintan; namun sementara ia belum ternyatakan oleh si pencinta, sementara ia masih membayangkan bahwa dunia yang fana merupakan pengilhamnya yang sebenarnya dan akhir tujuan dari keharuannya, cintanya itu masih berada dalam tingkatan “khusus”, dan ia sendiri masih dalam titian “perumpamaan”. Demikianlah Cinta merupakan pembimbing menuju Dunia Atas Sana, kendali yang membimbingnya menuju Langit; melalui api Cinta besi dapat berubah menjadi emas, dan tanah liat hitammu berubah jadi permata yang berkilauan. Cintalah yang membuat si bijak yang lalai sadar, dan mengubah yang keliru menjadi ahli makrifat; Cintalah yang merupakan penyingkap Kebenaran, jalan tersembunyi menuju Penyucian Tuhan. Dan bagi pencinta sejati, dia adalah hati murni dan kesucian hidup, benda dunia tak ada sangkut paut di matanya; debu dan emas sama di matanya; kemurahan dan keramahan membedakannya dari yang lain: nafsu dunia tak memerintah dirinya lagi.” Pandangan Jami, Sufi Iran abad ke-15 M Keindahan Yang Mutlak adalah Keagungan-Nya yang dilengkapi dengan sifat-sifat maha kuasa dan maha pemurah. Setiap keindahan dan kesempurnaan menyatakan diri dalam bermacam-macam tingkatan wujud bagaikan seberkas sinar keindahan-Nya yang sempurna dan terpantul dari dalam wujud itu. Dari berkas sinarnya inilah jiwa luhur menerima pancaran keindahan dan sifat-sifat yang sempurna. Barang siapa yang banyak memperoleh hikmah, Tuhan akan menganugerahkan lebih banyak lagi hikmah. Di mana saja ia mendapatkan kepandaian, kepandaiannya itu adalah hasil akal ketuhanan. Pendek kata, semua merupakan sifat-sifat Tuhan yang turun dari zenith Yang Serba Sejagatk, dan Maha Mutlak, menuju nadir dari yang khusus dan nisbi. Mereka diturunkan ke tujuannya agar langsung sampai ke tujuan, begitulah yang sebagian itu menuju Yang Menyeluruh. Dan janganlah mengira bahwa yang sebagian itu tercerai dari Yang Menyeluruh, pun jangan terpesona dengan apa yang nisbi aagar kau tidak putus hubungan dengan Yang Mutlak. Kukunjungi Taman Bunga Kekasih Yang Esa Pelita keindahan mengintaiku, dan berkata kepada-Nya “Aku adalah pohon; kembang-kembang ini adalah cabang-cabang-Mu Jangan sembunyikan cabang-cabang ini dari-Mu karena pohonnya. Apa gunanya mawar, bentuk yang penuh karunia itu, Dan cincin yang melingkari wajahnya? Bila Keindahan Yang Mutlak menyinari sekeliling Mengapa keindahan yang terbatas harus didekap? Lagi Abdul Rahman al-Jami menulis dalam sajaknya: Dari semua kekekalan Kekasih menyingkap keindahan-Nya dalam kesendirian-Nya yang Tak terlihat. Dia menghadapkan cermin pada wajah-Nya sendiri, Dia menunjukkan pesona-Nya pada Diri-Nya sendiri. Dia adalah yang menonton dan yang ditonton: tanpa mata namun penglihatannya meliputi seluruh alam semesta. Semua adalah Satu, tidak ada keserba-duaan, tidak ada hadirnya “aku” atau “kau”. Sumbu besar langit, bersama datang dan perginya yang tidak terhitung, dipertemukan dalam satu titik. Penciptaan meletakkan buaian atas tidur yang tidak maujud, seperti anak menghela nafas. Mata Kekasih, melihat yang tidak terlihat, menyebut yang tidak maujud sebagai maujud. Walaupun Dia melihat tanda-tanda dan sifat-sifat-Nya sebagai keseluruhan yang sempurna di dalam hakikat-Nya sendiri. Namun dia ingin mereka diperlihatkan kepada-Nya dalam cermin yang lain. Dan bahwa tiap-tiap tanda-Nya yang kekal akan menjadi nyata di dalam bentuk yang berbeda. Oleh karena itu Dia mencipta lapangan hijau Waktu dan Ruang dan taman hayat dunia berlimpah rahmat. Agar setiap dahan dan buah bisa menunjukkan kesempurnaannya yang aneka ragam Pohon cemara memberikan isyarat akan keanggunan-Nya, mawar menyampaikan warta tentang wajah-Nya yang indah Di mana pun Keindahan muncul, cinta tampak pula di sampingnya, di mana pun Keindahan berada pada rambut yang ikal Cinta akan datang dan menemukan hati terjerat dalam pilinan rambut ikalnya. Keindahan dan Cinta bagaikan tubuh dan jiwa; Keindahan adalah milikku dan cinta merupakan batu permatanya. Mereka selalu bersama sejak semula, tidak pernah pergi jauh satu dengan yang lain, yang berbeda hanyalah pergaulan mereka.