Senin, 28 Mei 2012

Politik Upah Murah

“Dedicated to My Big Love”
Hancurkan Politik Upah Murah Rezim Penindas Buruh Kebijakan upah minimum sudah berlangsung di Indonesia sejak tahun 1981. Semenjak itu pula, upah minimum selalu menjadi salah satu topik terhangat dalam dunia perburuhan nasional karena tidak pernah lepas dari kontroversi dan perdebatan tentang pencapaian angkanya. Kontroversi terjadi terus-menerus karena ada dua alasan: pertama, cara penetapan upah minimum dianggap seringkali hanya didasarkan pada asumsi-asumsi “ngalamun” alias asumsi-asumsi tidak nyata tentang kebutuhan hidup buruh dan mengabaikan situasi nyata. Hal ini disebabkan karena proses penetapan upah minimum lebih banyak didominasi oleh kehendak kaum pemilik modal, kaum pengusaha yang didukung pemerintah. Kedua, walau upah minimum sudah ditetapkan berdasarkan keputusan pemerintah, masih banyak ditemukan kasus-kasus dimana pengusaha mengabaikan ketentuan upah minimum. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi pada perusahaan dengan kategori ‘modal pas-pasan’ tetapi juga terjadi pada perusahaan bergengsi dan bermodal besar. Di Indonesia, terdapat siklus tahunan gelombang demonstrasi buruh. Setiap bulan Oktober-November, suhu politik di dunia perburuhan Indonesia memanas akibat perselisihan mengenai upah buruh, lebih tepatnya mengenai penetapan Upah Minimum Provinsis (UMP) dan Upah Minimum Kota (UMK). Gelombang demonstrasi buruh yang terus berulang setiap tahun untuk permasalahan yang sama, yaitu upah, menunjukkan adanya persoalan dalam sistem pengupahan di Indonesia. Rezim Penindas Buruh Antek Kurawa Penjajahan Gaya Baru dari tahun ke tahun selalu mengedepankan politik upah murah bagi buruh untuk menarik kaum pemilik modal bangsa asing. Hal ini bisa dilihat dari promosi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit, brosur BPKM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya $ 0.6 per jam di bandingkan dengan India ($ 1.03), Filipina ($.1.04), Thailand ($ 1.63), China ($ 2.11), dan Malaysia ($ 2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment China and India-upah buruh relatif rendah, bahkan jika dibandingkan dengan magnet-magnet investasi China dan India’ Logika untuk menarik pemilik modal dengan menjual politik upah murah sebenarnya tidak berdasar. Jika melihat data dari World Eonomic Forum (WEF) yang mempublikasikan The Gloal Competitiveness Index (Indeks Daya Saing Global) , menyebutkan bahwa posisi Indonesia berada di peringkat 46, turun 2 tingkat dari tahun sebelumnya (The Global Competitiveness Report 2011-2012). Laporan tersebut juga memperlihatkan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia turun, yaitu di peringkat pertama adalah korupsi, kedua birokrasi pemerintah yang tidak efisien dan ketiga adalah infrastruktur yang tidak memadai. Sementara untuk peraturan perburuhan yang membatasi hanya berada di peringkat ke-12. Artinya, jika selama ini Rezim Penindas Buruh Antek Pemodal Asing mengeluhkan sulitnya menarik pemilik modal dikarenakan kebijakan perburuhan yang tidak ramah dengan iklim investasi, itu kenyataannya salah besar. Masalah utamanya ada di elit-elit politik yang melakukan korupsi dengan berkolaborasi dengan pemilik modal. Namun tetap saja, selama ini kaum buruh yang selalu dirugikan, dengan menjalankan politik upah murah dan membuat regulasi yang semakin mencekik buruh dan seluruh. Upah Minimum Provinsi (UMP) selama ini diasumsikan dihitung berdasarkan kebutuhan hidup layak, yang mengacu pada Permenaker Nomor Per-17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup Layak. Nyatanya, 46 komponen KHL yang ada di dalam Permenaker No 17 tahun 2005 tersebut sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan selalu mengkondisikan buruh selalu berada dalam garis kemiskinan. Misalnya saja mengenai biaya pendidikan anak dan kebutuhan memililiki rumah yang tidak masuk dalam komponen KHL di Permenaker tersebut. Hal ini menunjukkan, bahwa Pemerintah Penindas Buruh selalu saja mengkondisikan buruh dalam kolong gelap kemiskinan yang penuh penderitaan. Tidak aneh dengan asumsi perhitungan tersebut, buruh dan sebagian besar rakyat Indonesia tidak pernah hidup dalam kondisi yang sejahtera. Hal ini menjelaskan mengapa peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di tahun 2011 seperti terjun bebas atau anjlok. Berdasarkan penilaian United Nations Development Program (UNDP), Indonesia menduduki peringkat 124 dari 187 negara yang disurvei oleh UNDP. Indonesia berada di bawah Palestina (114), Filipina (112), Thailand (103), Sri Lanka (97), Lebanon (71) dan Malaysia (61). Padahal rezim neoliberal di Indonesia selalu mengagung-agungkan, bahwa perekonomian Indonesia mengalami pertumbuhan 6,5 persen hingga triwulan III-2011. Namun kenyataannya, kualitas hidup rakyat Indonesia malah menurun. Hal tersebut bisa dimaknai, bahwa pertumbuhan perekonomian sebesar 6,5 persen tersebut memang tidak pernah berdampak pada kesejahteraan rakyat pekerja di Indonesia. Pertumbuhan perekonomian tersebut hanya menguntungkan para pemilik modal dan elit-elit politik busuk di Rezim Penindas Buruh. Rezim Penindas Buruh tidak mempedulikan kualitas hidup dan kesejahteraan buruh dan rakyat Indonesia. Hal ini terbukti dengan masih dijalankannya kebijakan politik upah murah di tahun 2012. Hingga hari ini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans) mencatat sudah ada 11 pemerintah daerah provinsi yang telah menetapkan UMP dan kebanyakan masih di bawah batas kebutuhan hidup layak (KHL). Perlawanan terhadap politik upah murah memang harus selalu dilansungkan oleh kaum buruh di Indonesia. Politik upah murah yang didasarkan pada UU 13/2003, Permen 1/1999, Permenaker 17/2005, serta mekanisme lainnya untuk penetapan upah yang memang hanya menjadi alat bagi Rezim Penindas Buruh dan pemilik modal untuk membuat kemiskinan secara struktural serta menguntungkan para pemilik modal. Penetapan upah berdasarkan provinsi dan kota juga merupakan taktik para pemilik modal dan Rezim Penindas Buruh untuk memperkecil perlawanan para buruh di setiap provinsi maupun kota. Namun dari logika ini, sebenarnya Rezim Penindas Buruh dan pemilik modal sudah paham dan mengantisipasi, bahwa setiap akhir tahun pasti akan ada perlawanan kaum buruh terkait penetapan kenaikan upah. Untuk itu, dibutuhkan persatuan dari seluruh buruh dan seluruh rakyat di Indonesia untuk melakukan perlawanan politik upah murah yang dijalankan oleh Rezim Penindas dan kaum pemilik modal. Buruh harus ditempatkan sebagai manusia yang menjadi subyek pembangunan, bukan faktor produksi sehingga mereka juga berhak untuk hidup layak. Apakah yang dimaksud dengan hidup layak itu? Hidup layak adalah ketika buruh bukan hanya dapat memenuhi kebutuhan diri, keluarga, dan kehidupan sosialnya, melainkan juga mendapatkan kenyamanan di tempat kerja, peningkatan karier, bebas dari tekanan, dan memiliki hak-hak untuk berserikat. Upah minimum selama ini adalah suatu jebakan karena dimulai dari ukuran yang terlalu rendah dan diperbarui setiap tahun terkait inflasi. Maka, untuk hidup layak, perlu dilakukan suatu sistem baru yang lebih komprehensif dengan mengombinasikan upah dan Jaminan Sosial yang baik, keamanan sosial, tempat kerja yang pantas, dan perencanaan karier. Sudah tiba waktunya bagi kaum buruh dan seluruh rakyat Indonesia untuk bangkit berjuang menghancurkan politik upah murah. Jangan sampai jadi budak di negeri sendiri. Buruh adalah tuannya negara, dan kuasanya adalah nyata. Buruh bersatu tak bisa dikalahkan! Hancurkan Politik Upah Murah Rezim Penindas Buruh!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar