Buruh Tolak Capres yang Jadi Antek Asing!
Senin, 28 April 2014 - 10:14 WIB
Sekjen PASKABI Sucipto
Jakarta
- Pada 1 Mei 2014 bakal digelar aksi demo buruh besar-besaran
memperingati Hari Buruh se-Dunia yang dikenal sebagai May Day. Pusat
Aspirasi Kaum Buruh Indonesia (PASKABI) banyak menerima keluhan para
buruh dan para pimpinan Serikat Buruh di tingkat bawah yang mengeluhkan
tindakan politik induk organisasinya (pimpinan pusat) yang tidak pernah
konsisten didalam memperjuangkan kebutuhan anggotanya/kaum buruh didalam
mengambil kebijakan politik.
Oleh karena itu dalam momentum pergantian kepemimpinan nasional 2014,
sikap politik kaum buruh Indonesia dan Serikat Buruh/Serikat Pekerja
yang tergabung dalam PASKABI menyatakan sikap menjelang Pemilu Presiden
(Pilpres) 2014 terkait calon presiden (capres) dan calonw akil presiden
(cawapres) yang dikehendaki kaum buruh.
“Kaum Buruh Indonesia menolak untuk mendukung Capres dan cawapres
yang tidak berani mengamandemen Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial,” tegas Sekjen PASKABI Sucipto dalam
pernyataan persnya, Senin (28/4/2014).
Selain itu, lanjutnya, kaum Buruh Indonesia menolak Capres dan
Cawapres yang tidak berani melakukan pembaharuan kontrak ulang Freeport
dan Newmont dengan pembagian hasil yang menguntungkan Indonesia. “Kaum
Buruh Indonesia menolak Capres dan Cawapres yang tidak mempunyai agenda
membangun Industrialisasi Nasional. Kaum Buruh Indonesia juga menolak
Capres dan Cawapres yang menjadi antek asing!” seru Sekjen PASKABI.
Ia menyayangkan, slogan “Buruh Bersatu Tak Dapat Dikalahkan“ selalu
menjadi motivasi didalam setiap aksi buruh untuk memberikan semangat
perlawanan dan persatuan. Namun kenyataannya persatuan kaum buruh hanya
mimpi belaka. Karena sampai sekarang buruh tidak dapat bersatu dalam
sikap politik sehingga kekuatan buruh sepanjang masa pergerakan politik
hanya menjadi obyek.
“Bisa kita lihat dengan selesainya pesta demokrasi / Pemilu
legislatif ternyata Caleg yang berlatar belakang aktivis buruh dan atau
pengurus SB tidak ada yang mendapatkan suara yang bisa mengantar ke
kursi DPR RI maupun DPR D, artinya bahwa suara buruh tidak untuk caleg
yang berasal dari aktivis buruh, tetapi diberikan kepada caleg lain
yang tidak berasal dari aktivis buruh,” tandasnya.
Dengan demikian, ungkapnya, tidak ada persatuan kaum buruh baik pada
level anggota maupun pada level kepemimpin buruh dengan anggotanya.
Walaupun pada saat Demonstrasi menuntut kesejahteraan atau
memperjuangkan hak-haknya, buruh dapat dimobilisir secara besar-besaran
namun pada tataran kepentingan politik buruh tidak mempunyai posisi
tawar dan menjadi obyek kepentingan politik para politikus.
Menjurutnya, perpecahan di tubuh serikat buruh sudah menjadi trand
bagi organisasi buruh dalam dekade era reformasi dikarenakan ambisi
elit-elit pemimpinnya yang tidak siap menjalankan mekanisme organisasi,
mereka hanya mengejar jabatan. Sehingga Serikat Buruh hanya menjadi
kendaraan untuk berekspresi politik oleh pemimpinnya dan bisa kita lihat
beberapa Serikat Buruh/Serikat Pekerja yang pecah setelah mereka
melakukan Kongres atau Munas.
“Pertanyaannya adalah perpecahanan tersebut apakah menguntungkan
anggotan atau buruhnya, tidak, sehingga keputusan memecah organisasi
menjadi dua atau lebih adalah tidak menguntungkan anggotanya bahkan
melemahkan persatuan dan kesatuan perjuangan kaum buruh,” ungkapnya.
PASKABI menilai, dalam posisi politik kaum buruh masih menjadi obyek
oleh kepentingan para elit politisi, sehingga posisi tawarnya sangat
rendah untuk bisa menjadi penentu kebijakan politik, posisi kaum buruh
masih menjadi pendukung dan penggembira dalam PILKADA, PILEG dan
PILPRES, setelah itu nasibnya tetap tidak sejahtera, tidak terlindungi
pekerjaannya dan harus berjuang sendiri hanya untuk mendapatkan upah
minimum. Sangat tragis memang nasib kaum buruh hanya dibutuhkan suaranya
pada waktu untuk mencapai kekuasaan oleh para kandidat penguasa.
“Buruh Bersatu Tak Bisa Dikalahkan dan Persatuan Kaum Buruh, adalah
hanya hayalan isapan jempol belaka tidak ada kenyataannya. Pertanyaan
Besarnya adalah sampai kapan nasib kaum buruh akan dibawa oleh
Pemimpinnya hanya untuk menjadi penggembira dan menjadi pendukung para
politisi dan para calon Penguasa dinegeri yang tercinta ini Indonesia,”
beber Sucipto. (ira)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar